THE MONSTER
Aku sudah lelah bersembunyi. Aku
sudah bosan melarikan diri. Maka, hari itu di mana ia datang lagi untuk
kesekian kalinya, aku menyambutnya. Kutunggu ia di depan pintu, kupersilakan ia
masuk dan kuajak ke ruang duduk. Di sana ia kusuguhi secangkir teh kamomil dan
sepiring biskuit bertabur gula dan cokelat. Di permukaan air teh yang sedikit
kecokelatan, mengambang tiga helai bunga forget-me-not yang sengaja
kupetik dari kebun bunga milik Mama.
Sebelum ini aku tidak pernah berani menatap sosoknya. Aku
hanya meyakini jika ia berwarna hitam secara keseluruhan, bola mata sebesar
pendulum jam tua dengan sorot yang bisa menyedot kewarasan, cakar panjang dan
tajam, mulut lebar yang selalu menyeringai dan menunjukkan giginya yang sekokoh
tombak, serta suara parau nan berat yang selalu bisa menekan bobot tubuhku ke
lantai. Dulu, kapan saja aku baru mendengar raungan paraunya memanggil namaku,
meski masih dari jarak bermil-mil jauhnya, aku otomatis berlari dan bersembunyi
ke Tanah Abai, di mana ia tak dapat menjangkauku karena di sana segala bentuk
yang tak kukehendaki akan terpental menjauh. Aku selalu merasa aman di Tanah
Abai. Namun, kadang-kadang ia berhasil menangkapku. Dan saat-saat aku berhasil
ditangkap olehnya bukanlah saat yang menyenangkan. Karena ia suka sekali
menghisap warna dari duniaku hingga hanya meninggalkan abu-abu dan hitam. Bila
sudah seperti itu, aku akan tertelungkup di lantai dengan ia yang menindihku
dengan keseluruhan berat suaranya. Karena tak ada warna yang bisa kulihat, aku
memilih untuk memejamkan mata, juga untuk menghindari bertemu tatap dengannya. Aku
takut akan terjebak di bawahnya selamanya. Karena menurut orang-orang, siapapun
yang bertatapan dengan Makhluk Gelap akan disedot kewarasannya dan menjadi
tawanan di dunianya, Tanah Kelam—selamanya.
Kini, ketika ia sudah duduk di hadapanku, di sofa hijau
pucuk daun kesayangan Mama yang bermotif bunga Pansy warna kuning, aku
terkejut ia sama sekali tak seperti yang kubayangkan. Sosoknya tak lebih tinggi
dari lemari di kamarku, tapi ia besar—gemuk. Ia terlihat seperti kukang, tapi
ukuran tingginya saat berdiri setinggi lemari dan segemuk beruang dewasa. Warna
tubuhnya hitam legam bukan karena bulu, karena warna hitam yang melapisi
tubuhnya seperti cairan yang hidup. Ketika aku mendongak ingin melihat
wajahnya, ia juga tengah mengamatiku, mata kami bertemu. Sejenak aku lupa cara
bernapas, kukira aku akhirnya akan kehilangan kewarasan, ketika ia tiba-tiba
memalingkan pandangan dan berganti mengamati sekeliling ruang duduk.
“Kau tidak lari.” Sempat kukira suara itu datang dari
orang lain yang tiba-tiba masuk ke ruang duduk, karena daerah di wajahnya yang
kukira adalah tempat mulut berada, sama sekali tidak terbuka ataupun bergerak.
“Biasanya kau ke Tanah Abai. Kenapa hari ini tidak?” Barulah setelah ia
mengatakan itu sambil menatap dan menunjukku dengan tangannya yang mirip
gumpalan bola hitam, aku yakin suara itu memang datang darinya.
“Kupikir sudah saatnya aku mengenalmu. Lagi pula aku
lelah. Kau selalu datang, lagi dan lagi. Tak peduli berapa kali aku berusaha
menyelamatkan diri ke Tanah Abai.” Aku terkejut suaraku keluar dengan lancar,
tanpa ada getaran keraguan. Bahkan tubuhku tidak gemetar.
Ia menelengkan kepala. Jika dalam keadaan yang mendukung,
aku akan bilang gerakannya itu lumayan menggemaskan. “Kau tidak menyelamatkan
diri dengan pergi ke Tanah Abai. Kau hanya menunda,” katanya.
“Apa maksudmu? Di sana aku aman.”
“Hanya menurutmu. Sementara rasa takut sedang mengintai,
bahkan makin membesar.”
Aku hendak mengatakan ia salah, bahwa Tanah Abai adalah
tempat paling aman dan ia hanya malu dan merasa kalah karena tak bisa masuk ke
sana. Namun, kata-katanya bergema dalam hatiku, lalu memanggil si rasa takut
itu sendiri. Ia benar, karena setelah aku kembali dari Tanah Abai, setiap
kalinya, ketakutanku akan sosok yang sedang duduk di depanku ini semakin tak
tertahankan—kedatangannya terasa seperti teror yang siap mencabik-cabik
kewarasanku.
“Apa kau tahu, ketika rasa takut kian membesar hingga
berhasil menelan tubuh kecil rapuhmu itu, kau tak bisa lagi menginjakkan kaki
ke Kawasan Terang. Aku sebenarnya senang-senang saja kau lari ke Tanah Abai.
Karena dengan begitu kesempatanku untuk menguasaimu pun semakin besar.”
Tiba-tiba lantai bergetar, begitu pula seluruh perabotan yang ada, diikuti
gemuruh menggelegar yang terasa seolah bisa merenggut seluruh organ dalamku.
Aku mencengkeram erat lengan sofa, jantungku—apabila masih berada di
tempatnya—bertalu-talu lebih cepat dari sekumpulan kuda yang sedang berlomba di
lapangan pacu. “Maaf, aku kelepasan. Terlalu senang.” Ia berdeham seraya
bergerak membenahi posisi duduknya, gemuruh tak terdengar lagi, dan getaran
seperti gempa bumi itu pun sama sekali berhenti. Barulah aku sadar, bahwa ia
tadi tengah tertawa.
“Sebenarnya kau datang dari mana?” Kupaksakan untuk
menanyakan pertanyaan yang selama ini terus menggantung di bagian depan
kepalaku.
“Menurutmu dari mana?” Ia balik bertanya.
Aku menghela napas panjang, enggan mengungkapkan jawaban
yang selama ini terus meresahkanku. “Dari aku.” Mendengar itu, sekali lagi ia
menelengkan kepala. Muncul selarik guratan tipis melintang panjang di atas
dagunya, ia tersenyum—atau menyeringai.
“Dan kau melarikan diri dari dirimu sendiri?” tanyanya.
Gemuruh itu datang lagi, lantai bergetar lagi, walau tak separah tadi.
“Diam! Kau bisa membuat rumah ini ambruk!” bentakku. Aku
kesal, tidak terima ditertawakan olehnya, lebih tepatnya … malu. Aku menghela
napas kasar. “Jadi, apa yang harus kulakukan?”
“Bukankah kau sudah tahu, makanya kau menyambutku hari
ini?”
Aku menggigit bibir bawah, tidak begitu yakin apakah aku
benar harus melaksanakan apa yang telah kurencanakan. Mendadak aku ragu,
tiba-tiba aku merasa konyol. Lebih daripada itu, aku takut ia akan menolak dan
kembali menertawakanku. Lalu menerorku dengan tingkat yang lebih menyeramkan
lagi. Lagi pula, adakah orang lain yang sama gilanya denganku, yang ingin
berteman dengan si sosok Gelap? Jika bertanya pada seorang yang waras, jawaban
mereka pastinya adalah aku harus menyingkirkan si sosok Gelap, itu adalah cara
yang benar. Namun, aku juga ragu, apakah mereka yang menyarankan itu
benar-benar waras? Apakah menyingkirkannya adalah langkah yang tepat?
Menurutku, “menghapus” tidak selalu bisa dijadikan sebagai jalan keluar.
“Aku mau berteman denganmu.” Akhirnya aku mengatakannya.
“Kalau hari ini saja kita bisa berbincang sambil minum teh seperti ini, aku
yakin lain kali kita bisa melakukannya lagi.”
Terdengar dengusan darinya. Tapi ia tak menunjukkan
ekspresi keruh, jika aku tak salah mengartikan, ekspresi di wajahnya justru
terlihat “tertarik”. Garis putih melintang di atas dagunya juga terlihat lagi.
Dan itu tidak terlihat menyebalkan atau meremehkan seperti sebelumnya.
“Sebenarnya apa yang akan kau dapatkan dengan
menguasaiku? Aku tak bisa melakukan hal yang berguna untukmu.”
“Jangan bodoh! Tentu saja kematian. Jika kau menyerah dan
akhirnya mati, aku bisa memperlebar jangkauanku. Aku bisa menelan seluruh jiwa
di rumah ini, lalu jiwa-jiwa lain yang saling berhubungan. Itu akan
menyenangkan sekali.” Garis melintang itu melebar, hingga mencapai matanya yang
abu-abu keruh. Aku bergidik. Rasa dingin yang familiar merambati punggungku.
Namun, untung saja garis itu sirna dengan cepat. Ia berdecak—jika itu memang
decakan—dan menatapku dengan sorot mata yang sama sekali berbeda, terlihat
sendu. “Kau tidak takut lagi padaku, ‘kan? Tidak, seharusnya aku tidak perlu
bertanya. Keputusanmu hari ini saja sudah menunjukkannya.”
“Jadi bagaimana? Kau menerima tawaranku?”
“Tidak apa-apa, ini bukan akhir. Aku masih punya
kesempatan.” Ia justru bergumam. Aku pun dengan tidak sabar mengulurkan tangan,
ia memandangku dengan tatapan bingung yang tampak kekanakan.
“Jabat tanganku jika kau setuju,” kataku. Ia bergantian
menatap aku dan tanganku, lalu dengan garakan lambat mengulurkan tangan
bergumpal-gumpalnya. Aku menahan diri untuk tidak berjengit dan menarik kembali
tanganku saat kami berjabatan, tangannya terasa dingin dan menusuk-nusuk seolah
ada ratusan jarum kecil di sana. Sama sekali bukan tangan yang nyaman untuk
digenggam. “Nah, kita rekan sekarang. Itu artinya, kita harus saling bekerja
sama.”
Tiba-tiba ia mengeratkan genggaman, aku tak kuasa untuk
tidak mengernyit. “Kau baiknya hati-hati. Kesepakatan ini tidak berarti hal-hal
akan berjalan dengan normal. Aku bisa membesar dan mengecil semauku. Jika kau
lengah, jiwamu akan kutarik ke duniaku. Kau tidak tahu bisa seberapa
menakutkannya diriku. Tetap akulah yang berkuasa meski kau memberi label
‘rekan’ kesepakatan ini.”
“Tidak. Walau bagaimanapun, dalam bentuk apa pun, besar
atau kecil, lewat pertemuan ini aku yakin akulah sebenarnya yang berkuasa. Kau
hanya memiliki bentuk yang menyeramkan. Tapi kau tetaplah bagian dari diriku.
Seperti yang kau katakan sebelumnya, kau datang dari dalam diriku. Kau tidak
bisa mengendalikanku lagi.” Kueratkan balik genggaman tangan menusuk-nusuknya,
dan kubalas seringaian liciknya.
“Akan kuajak kau berjalan-jalan ke Tanah Kelam, akan
kukenalkan kau pada kawan-kawanku. Dan saat itu, kau akan menyesali
keputusanmu.”
“Oh, tenang saja, Sobat Besar. Kapan pun itu aku siap!”
jawabku pongah.
Ia menggeram, dan semakin kueratkan genggaman tangan
kami. Dengan suara pop! ia meletus bagai balon sabun dan menghilang
begitu saja. Hanya tersisa aku di ruang duduk. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar