STAIRS
“Aku
melihat banyak tangga dan aku harus memutuskan memilih yang mana untuk sampai
di atas.”
___
Ini sebuah perayaan, atau
pesta, atau … aku tidak tahu ini apa. Begitu banyak orang. Begitu ramai. Semua berbicara,
semua bercanda ria, semua memenuhi sudut-sudut jalan. Mereka berlalu-lalang, berjalan
satu dua atau tiga atau empat atau lima. Aku mengenal beberapa di antaranya;
teman sekolah, tetangga sebelah rumah. Namun, lebih banyak dari mereka yang
asing.
Aku bagian dari keramaian
itu. Menjual semacam salad buah dan berjalan-jalan berkeliling bersama beberapa
teman sesama penjaja salad buah. Berhenti pada beberapa stan penjaja lain, melihat-lihat
kain, mencari aksesoris, mencicipi kue-kue kering. Aku terlihat bahagia,
tertawa lebar hingga menampilkan gigi-gigi, mendorong bahu salah satu teman
saat ia bercanda berlebihan. Sensasi itu, saat berada di sana, di tengah-tengah
keramaian yang tidak kutahu benar itu apa. Aku merasakan kegembiraan, namun itu
semacam kegembiraan yang diselimuti oleh kewaspadaan dan diolesi keraguan. Aku
… tak sepenuhnya menikmati.
Jalan di sana sesak tapi
juga lengang. Debu-debu beterbangan. Tak ada aspal jika kau ingin tahu,
semuanya tanah; tak rata, berundak-undak, bergelombang. Aku kembali ke tempat
di mana kami membuat salad buah. Itu jamku istirahat, berganti bagian berjaga di
stan. Namun, aku mengenali atmosfer di sana begitu tiba. Itu seperti bau dari
makanan yang tanpa kau cicipi lebih dahulu kau sudah yakin akan bagaimana
rasanya. Kewaspadaan dalam diriku meningkat, namun bersamaan dengan itu juga
terbit kepasrahan.
“Aku tidak bisa
melakukannya sekarang. Aku perlu melakukan hal lain. Tolonglah, sekali ini
saja, biar tugasku digantikan yang lain.” Aku seharusnya mengenal gadis itu,
mengingat kami berada di stan yang sama, tapi aku tidak tahu namanya. Yang
jelas aku tidak suka padanya. Ia jenis gadis yang memanfaatkan penampilan untuk
mendapat yang dimau. Dengan mata lebar bening memelas, suara halus nan manis,
serta tingkah yang menggemaskan, ia memohon. Membujuk ketua stan kami agar
dirinya terbebas dari tugas keluar menjual salad. Ketua kami yang bertampang
seolah tidak tidur selama tiga hari itu menghela napas kuat-kuat, ia terlihat
muak serta lelah, dan pada akhirnya hanya mengangguk. Si gadis berseru sembari
melonjak kegirangan, mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil berkata akan
bekerja lebih rajin lain kali. Di sanalah kewaspadaan dan kepasrahan dalam
diriku bertemu, saat Ketua bertatapan denganku.
“Kau yang akan
menggantikannya,” kata Ketua. Aku sudah tahu itu akan datang. Dan aku ingin
protes; bahwa aku lelah, bahwa aku baru saja kembali melakukan tugasku, bahwa
itu tidak adil. Kenapa harus aku? Namun, aku hanya mengangguk dan tersenyum,
menelan kembali semua kalimat bantahan itu. Aku memiliki satu teman yang sangat
setia. Ia … aku tidak tahu kami seumuran atau tidak dan anehnya aku juga tidak
pernah mempertanyakannya. Hanya, kami selalu bersama. Kami tidak keberatan
menolong satu sama lain. Dan ia menawarkan diri untuk menemaniku. Kau tahu,
kan, perasaan lega saat menyadari tidak harus melakukan semua sendiri.
Aku dan teman-baikku yang
bertubuh jauh lebih berisi dariku dan berkulit hitam manis itu berangkat.
Kembali ke jalan-jalan yang ramai dan panas dan berdebu. Bising dari obrolan
yang bercampur-aduk segera saja memenuhi telingaku. Dan aku sudah merasa tidak
nyaman. Aku tahu aku tidak sendiri dan merasa tenang karenanya, tapi jauh dalam
hati aku lebih ingin istirahat. Aku tidak kuat lagi menahan semua kebisingan
itu, yang berlomba-lomba ingin memenuhi indera pendengaranku. Namun, lebih dari
apa pun, aku mengerti bahwa tugas adalah tugas. Aku memiliki tanggung jawab
untuk menyelesaikannya.
“Kita akan melewati jalan
yang tadi kulewati dengan yang lain. Rutenya lebih pendek. Jadi kita bisa
sampai di atas lebih cepat. Ikuti aku, aku masih ingat jalan ke sana,” kataku
dengan percaya diri. Namun, ini yang terburuk. Aku tidak ingat. Lebih banyak
orang dan semua laki-laki. Mereka ada di mana-mana.
Kami berdua terus
berjalan, menghindari semua tempat di mana laki-laki bergerombol dengan
kelompoknya. Dalam hati aku tahu mereka tidak memerhatikan kami. Namun,
kegelisahan dalam dadaku membuatku panik dan karenanya aku tidak lagi bisa
mengenali bagaimana bentuk tangga yang sebelumnya kulewati. Kami sampai di
ujung dan itu sebuah jalan buntu. Di sana hanya ada tiga tangga menuju atas
yang bisa kami lewati, dan ketiganya sama sekali tidak mudah. Tangga pertama:
aku tidak yakin kami akan bisa mencapai atas karena ada begitu tinggi jarak di
undakan terakhir, tinggi tubuh serta kaki-kaki kami yang pendek tidak
memungkinkan untuk digunakan meloncat. Tangga kedua lebih mudah, tidak ada
jarak lebar dan tinggi pada kesemua anak tangganya, itu tangga biasa. Namun,
ada dua orang laki-laki tengah mengobrol tentang motor di puncaknya. Kami tidak
bisa lewat sana. Maka, pilihan terakhir kami adalah tangga ketiga. Itu hanya
tangga yang begitu lurus dan mengharuskan kami menyeberang di tepian atasnya
yang berupa ruang sempit dan panjang untuk mencapai tujuan. Terlihat mudah,
tapi saat kami mencoba naik, itu bukan anak tangga yang kokoh. Tangga itu
ternyata terbuat dari papan kayu, di mana pun kami memijak akan goyah dan kami
terancam jatuh dengan tubuh tertimpa.
Aku dan si teman-baik
tetap berusaha naik. Namun, meski bagaimanapun itu terlalu sulit dan …
menakutkan. Setelah beberapa lama kami pun menyerah.
“Ayo kita kembali ke
jalan sebelumnya. Mungkin jika kita melihat lebih teliti lagi kita akan
menemukan tangga yang kumaksud.”
Aku tidak bisa
menemukannya. Aku tidak bisa santai berjalan sambil mencarinya. Di mana-mana
ada begitu banyak laki-laki bergerombol. Aku tidak bisa melewati mereka apalagi
menyapa untuk bertanya jalan. Aku tidak mau. Jantungku berdentum begitu cepat
dan keras hingga membuat kepalaku pusing. Sebenarnya tidak ada yang
memerhatikan, tidak ada yang melihat ke arah kami selain satu atau dua lirikan
sambil lalu. Aku tahu mereka tidak akan mengganggu dan aku mengerti benar
caraku bisa menemukan tangga untuk mencapai atas menjual salad buah yang ada di
tangan hanya dengan melewati mereka semua. Tapi, bagaimana caranya? Aku tidak
memiliki keberanian untuk melakukannya.
Mungkin aku hanya terlalu
sombong. Mungkin aku hanya merasa terlalu rendah diri. Ketakutan itu bukan
berasal dari kemungkinan mereka akan menggangguku jika aku mendekat, tapi
kekhawatiran jika mereka tak akan memedulikan. Aku tak berani bersikap ramah karena
takut akan pengabaian atas senyum yang kuberikan. Ada kesadaran memalukan ini
yang menghantamku saat aku dan si teman-baik berdiri di pinggir jalan
kebingungan. Padahal, jika aku berani mengakui ini dan bertindak atasnya, aku
tak perlu membuat teman baikku ikut kebingungan dan menderita. Namun, aku tak
melakukan apa-apa karena semua alasan untuk tak melakukannya juga lahir di
setiap kesadaran yang menghampiri.
Pada akhirnya kami tak ke
mana-mana. Tak menemukan tangga yang berani kami panjat. Namun, juga begitu
malu untuk kembali dan mengatakan yang sebenarnya pada Ketua.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar