Rabu, 09 April 2025

STAIRS

 


STAIRS

 

“Aku melihat banyak tangga dan aku harus memutuskan memilih yang mana untuk sampai di atas.”

 

___

Ini sebuah perayaan, atau pesta, atau … aku tidak tahu ini apa. Begitu banyak orang. Begitu ramai. Semua berbicara, semua bercanda ria, semua memenuhi sudut-sudut jalan. Mereka berlalu-lalang, berjalan satu dua atau tiga atau empat atau lima. Aku mengenal beberapa di antaranya; teman sekolah, tetangga sebelah rumah. Namun, lebih banyak dari mereka yang asing.

Aku bagian dari keramaian itu. Menjual semacam salad buah dan berjalan-jalan berkeliling bersama beberapa teman sesama penjaja salad buah. Berhenti pada beberapa stan penjaja lain, melihat-lihat kain, mencari aksesoris, mencicipi kue-kue kering. Aku terlihat bahagia, tertawa lebar hingga menampilkan gigi-gigi, mendorong bahu salah satu teman saat ia bercanda berlebihan. Sensasi itu, saat berada di sana, di tengah-tengah keramaian yang tidak kutahu benar itu apa. Aku merasakan kegembiraan, namun itu semacam kegembiraan yang diselimuti oleh kewaspadaan dan diolesi keraguan. Aku … tak sepenuhnya menikmati.

Jalan di sana sesak tapi juga lengang. Debu-debu beterbangan. Tak ada aspal jika kau ingin tahu, semuanya tanah; tak rata, berundak-undak, bergelombang. Aku kembali ke tempat di mana kami membuat salad buah. Itu jamku istirahat, berganti bagian berjaga di stan. Namun, aku mengenali atmosfer di sana begitu tiba. Itu seperti bau dari makanan yang tanpa kau cicipi lebih dahulu kau sudah yakin akan bagaimana rasanya. Kewaspadaan dalam diriku meningkat, namun bersamaan dengan itu juga terbit kepasrahan.

“Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku perlu melakukan hal lain. Tolonglah, sekali ini saja, biar tugasku digantikan yang lain.” Aku seharusnya mengenal gadis itu, mengingat kami berada di stan yang sama, tapi aku tidak tahu namanya. Yang jelas aku tidak suka padanya. Ia jenis gadis yang memanfaatkan penampilan untuk mendapat yang dimau. Dengan mata lebar bening memelas, suara halus nan manis, serta tingkah yang menggemaskan, ia memohon. Membujuk ketua stan kami agar dirinya terbebas dari tugas keluar menjual salad. Ketua kami yang bertampang seolah tidak tidur selama tiga hari itu menghela napas kuat-kuat, ia terlihat muak serta lelah, dan pada akhirnya hanya mengangguk. Si gadis berseru sembari melonjak kegirangan, mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil berkata akan bekerja lebih rajin lain kali. Di sanalah kewaspadaan dan kepasrahan dalam diriku bertemu, saat Ketua bertatapan denganku.

“Kau yang akan menggantikannya,” kata Ketua. Aku sudah tahu itu akan datang. Dan aku ingin protes; bahwa aku lelah, bahwa aku baru saja kembali melakukan tugasku, bahwa itu tidak adil. Kenapa harus aku? Namun, aku hanya mengangguk dan tersenyum, menelan kembali semua kalimat bantahan itu. Aku memiliki satu teman yang sangat setia. Ia … aku tidak tahu kami seumuran atau tidak dan anehnya aku juga tidak pernah mempertanyakannya. Hanya, kami selalu bersama. Kami tidak keberatan menolong satu sama lain. Dan ia menawarkan diri untuk menemaniku. Kau tahu, kan, perasaan lega saat menyadari tidak harus melakukan semua sendiri.

Aku dan teman-baikku yang bertubuh jauh lebih berisi dariku dan berkulit hitam manis itu berangkat. Kembali ke jalan-jalan yang ramai dan panas dan berdebu. Bising dari obrolan yang bercampur-aduk segera saja memenuhi telingaku. Dan aku sudah merasa tidak nyaman. Aku tahu aku tidak sendiri dan merasa tenang karenanya, tapi jauh dalam hati aku lebih ingin istirahat. Aku tidak kuat lagi menahan semua kebisingan itu, yang berlomba-lomba ingin memenuhi indera pendengaranku. Namun, lebih dari apa pun, aku mengerti bahwa tugas adalah tugas. Aku memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya.

“Kita akan melewati jalan yang tadi kulewati dengan yang lain. Rutenya lebih pendek. Jadi kita bisa sampai di atas lebih cepat. Ikuti aku, aku masih ingat jalan ke sana,” kataku dengan percaya diri. Namun, ini yang terburuk. Aku tidak ingat. Lebih banyak orang dan semua laki-laki. Mereka ada di mana-mana.

Kami berdua terus berjalan, menghindari semua tempat di mana laki-laki bergerombol dengan kelompoknya. Dalam hati aku tahu mereka tidak memerhatikan kami. Namun, kegelisahan dalam dadaku membuatku panik dan karenanya aku tidak lagi bisa mengenali bagaimana bentuk tangga yang sebelumnya kulewati. Kami sampai di ujung dan itu sebuah jalan buntu. Di sana hanya ada tiga tangga menuju atas yang bisa kami lewati, dan ketiganya sama sekali tidak mudah. Tangga pertama: aku tidak yakin kami akan bisa mencapai atas karena ada begitu tinggi jarak di undakan terakhir, tinggi tubuh serta kaki-kaki kami yang pendek tidak memungkinkan untuk digunakan meloncat. Tangga kedua lebih mudah, tidak ada jarak lebar dan tinggi pada kesemua anak tangganya, itu tangga biasa. Namun, ada dua orang laki-laki tengah mengobrol tentang motor di puncaknya. Kami tidak bisa lewat sana. Maka, pilihan terakhir kami adalah tangga ketiga. Itu hanya tangga yang begitu lurus dan mengharuskan kami menyeberang di tepian atasnya yang berupa ruang sempit dan panjang untuk mencapai tujuan. Terlihat mudah, tapi saat kami mencoba naik, itu bukan anak tangga yang kokoh. Tangga itu ternyata terbuat dari papan kayu, di mana pun kami memijak akan goyah dan kami terancam jatuh dengan tubuh tertimpa.

Aku dan si teman-baik tetap berusaha naik. Namun, meski bagaimanapun itu terlalu sulit dan … menakutkan. Setelah beberapa lama kami pun menyerah.

“Ayo kita kembali ke jalan sebelumnya. Mungkin jika kita melihat lebih teliti lagi kita akan menemukan tangga yang kumaksud.”

 

Aku tidak bisa menemukannya. Aku tidak bisa santai berjalan sambil mencarinya. Di mana-mana ada begitu banyak laki-laki bergerombol. Aku tidak bisa melewati mereka apalagi menyapa untuk bertanya jalan. Aku tidak mau. Jantungku berdentum begitu cepat dan keras hingga membuat kepalaku pusing. Sebenarnya tidak ada yang memerhatikan, tidak ada yang melihat ke arah kami selain satu atau dua lirikan sambil lalu. Aku tahu mereka tidak akan mengganggu dan aku mengerti benar caraku bisa menemukan tangga untuk mencapai atas menjual salad buah yang ada di tangan hanya dengan melewati mereka semua. Tapi, bagaimana caranya? Aku tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.

Mungkin aku hanya terlalu sombong. Mungkin aku hanya merasa terlalu rendah diri. Ketakutan itu bukan berasal dari kemungkinan mereka akan menggangguku jika aku mendekat, tapi kekhawatiran jika mereka tak akan memedulikan. Aku tak berani bersikap ramah karena takut akan pengabaian atas senyum yang kuberikan. Ada kesadaran memalukan ini yang menghantamku saat aku dan si teman-baik berdiri di pinggir jalan kebingungan. Padahal, jika aku berani mengakui ini dan bertindak atasnya, aku tak perlu membuat teman baikku ikut kebingungan dan menderita. Namun, aku tak melakukan apa-apa karena semua alasan untuk tak melakukannya juga lahir di setiap kesadaran yang menghampiri.

Pada akhirnya kami tak ke mana-mana. Tak menemukan tangga yang berani kami panjat. Namun, juga begitu malu untuk kembali dan mengatakan yang sebenarnya pada Ketua.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

STAIRS

  STAIRS   “Aku melihat banyak tangga dan aku harus memutuskan memilih yang mana untuk sampai di atas.”   ___ Ini sebuah perayaan,...